Jumat, 02 November 2012

Pseudo-education Dalam Sehari-hari


BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Secara faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk  manusia. Itulah mengapa pembicaraan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. Dari beberapa pendapat tentang pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan pada umumya sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau diselengarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan ke arah yang positif. Dengan pendidikan, diharapkan manusia dapat meningkat dan berkembang seluruh potensi atau bakat alamiahnya sehingga menjadi manusia yang relatif lebih baik, lebih berbudaya, dan lebih manusiawi. Agar kegiatan pendidikan lebih terarah, sehingga nantinya dapat berdaya guna dan berhasil guna, maka diperlukan pemahaman yang relatif utuh dan komprehensif tentang hakekat manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Dimensi manusia dan  potensinya
2. Gejala-gejala  pendidikan dari berbagai segi kehdupan
3. Pendidikan  dan pengembangan  jatidiri manusia 
4. Manusia sebagai  Zoon Politican dan Homo educable
5. Pendidikan Insan paripurna
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Dimensi manusia dan  potensinya
2. Memahami Gejala-gejala  pendidikan dari berbagai segi kehdupan
3. Mengatahui Pendidikan  dan pengembangan  jatidiri manusia 
4. Pengertian Manusia sebagai  Zoon Politican dan Homo educable
5. Insan paripurna atau kamil
D. Manfaat Penulisan
Bagi dosen
Dapat dijadikan sebagai pertimbangan bahan ajar mata kuliah pengantar pendidikan
Bagi Mahasiswa
Untuk menambah pengetahuan tentang generator listrik,sejarah singkat generator listrik dan memahami tentang cara kerja generator listrik.




BAB II
PEMBAHASAN
Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang tidak mampu berbuat demikian dan itulah salah satu alasan mengapa manusia menjulang tinggi di atas binatang. Manusia yang bertanya tahu tentang keberadaannya dan ia pun menyadari juga dirinya sebagai penanya. Jadi, dia mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya mencari makna kehidupannya (der Weij, 1991: 7-8). Drijarkara dalam bukunya Filsafat Manusia (1969: 7) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya berhadapan, tetapi juga menghadapi, dalam arti mirip dengan menghadapi soal,menghadapi kesukaran dsb. Jadi, dia melakukan, mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sendiri dsb.
A. Dimensi Manusia Dan Potensinya
Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas, yaitu:
a) Dimensi Keindividualan
mengartikan individu sebagai ´orang-seorang´, sesuatu yang merupakan suatu keutuhanyang tidak dapat dibagi-bagi Kesanggupanuntuk memikul tanggung jawab sendiri merupan ciriyang yang sangat esensial dari adnya individualitas pada diri manusia.M.J.langeveld menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan unetuk mandiri yang sangat kuat, meskipun disisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dapatdijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan.
b) Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahirdikaruniai potensi sosial. Demikian kata (M.J.Langeveld,1955).
Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkina untuk bergaul.Artinya setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakekatnya didalamnya terkandungunsur saling memberi dan menerima. Immnauel Khan seorang filosof tersohor bangsa Jerman menyatakan “Manusia hanya bisa menjadi manusia jika berada diantara manusia”. Dikatakan demikian karena orang dapat mengembangkan individualitasnya didalam pergaulan sosial,Artinya seseorang mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya didalam interaksidengan sesamanya. Seseorang berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasisifat-sifat yang dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak dicocokinya. Hanya didalam berinterkasi dengan sesamanya, dalam saling menerima danmemberi, seseorang menyadari dan menghayati kamanusiannya.
c) Dimensi Kesusilaan
Susila bersal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi,didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang panats jika di dalamyang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena maka pengertiansusila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasailmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket(persoalan kepantasan dan kesopanan)dan etika(persoalan kebaikan).Maka dapat dikatakan bahwa kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan sesalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambilkeputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusai itu adalah makhluk susila.Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati,dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Nilai-nilai merupakan sesuatu yangdijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dansebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.
d) Dimensi Keberagamaan
Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemahsehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatanhidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapatmenghayati agama melalui proses pendidikan agama

B. Manusia Sebagai Zoon Politicon dan Homo Educable
Manusia sejak awal lahirnya adalah sebagai makhluk sosial (ditengah keluarganya). Makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Menurut kodrat alam, manusia dimana-mana dan dizaman apapun selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok.sekurang-kurangnya hidup berkelompok itu terdiri dari satu suami dan satu istri ataupun ibu dan bayinya. Aristoteles(384-322 sebelum masehi), seorang ahli fikir yunani menyatakan dalam ajaranya, bahwa manusia adalah ZOON POLITICON, artinya pada dasarnya manusia adalah makhluk yang ingin selalu bergaul dengan berkumpul dengan manusia, jadi makhluk yang bermasyarakat . dari sifat suka bergaul dan bermasyarakat itulah manusia dikenal sebagai makhluk sosial.
Ahli filsafat menyebut manusia sebagai “hewan yang berfikir”, sosiolog menyebut manusia sebagai “makhluk yang bersosial”, ahli agama menyebut manusia sebagai “makhluk yang memiliki fitrah (potensi untuk beragama), dan ahli pendidikan menyebut manusia sebagai “homo educandum” atau “homo educable”. Semua istilah tersebut mengarah pada penjelasan bahwa manusia pada dasarnya memiliki “sesuatu kelebihan”. Secara sederhana pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itu sering dinyatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha manusia melestarikan hidupnya.
C. Insan Paripurna
Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi.
Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365 – 1428)
Insan kamil Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.

Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.

Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad).

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hubungan pendidikan dengan manusia itu sangat erat. Adanya pendidikan untuk mengembangkan potensi manusia, menuju manusia yang lebih baik, dan dapat mengemban tugas dari Tuhan Yang Maha Esa. Manusia merupakan subyek pendidikan, tetapi juga sekaligus menjadi objek pendidikan itu sendiri. Pedagogik tanpa ilmu jiwa, sama dengan praktek tanpa teori. Pendidikan tanpa mengerti manusia, berarti membina sesuatu tanpa mengerti untuk apa, bagaimana, dan mengapa manusia dididik. Tanpa mengerti atas manusia, baik sifat-sifat individualitasnya yang unik, maupun potensi-potensi yang justru akan dibina, pendidikan akan salah arah. 

Daftar Pustaka

http://www.scribd.com/doc/77096186/3/Dimensi-Dimensi-Hakekat-Manusia-serta-Potensi-Keunikan-dan-Dinamikanya
http://dtiawarnet.blogspot.com/2009/04/pandangan-aristoteles-zoon-politicon.html
http://orangbugis.wordpress.com/2009/05/08/pengertian-pendidikan/